Sabtu, 29 Oktober 2011

PENDAHULUAN Dasar hukum yang ketiga ialah qiyas, qiyas dipergunakan untuk menentukan hokum suatu masalah jika tidak terdapat ketetapanya dalam al-qur’an dan al-hadis dapat ditetapkan dalam mempergunakan qiyas, seperti mengqiyaskan wajib zakat padi kepada gandum karena gandum dan padi adalah makanan pokok manusia (sama-sama mengenyangkan) Qiyas artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persaman illlat. Menurut istlah agama qiyas yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telh disebutkan (belum mengetahui ketetapan) kepada hukum yang telah ada/telah ditetapkan Al-Quran dan Sunah disebabakan sama illat antara keduanya (asal furu’) Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya "Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran. QIYAS A. Pengertian Qiyas Qiyas artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persaman illlat. Menurut istlah agama qiyas yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telh disebutkan (belum mengetahui ketetapan) kepada hukum yang telah ada/telah ditetapkan Al-Quran dan Sunah disebabakan sama illat antara keduanya (asal furu’). Menurut Bahasa, Qiyas artinya ukuran atau mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, atau menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dengan demikian qiyas artinya mengukur sesuatu dengan yang lain agar diketahui persamaan atas keduanya. Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh Para Ahli Ushul fiqh dengan redaksi yang berbeda sesuai dengan pendapat masing-masing, namun mengandung pegertian yang sama. Diantarannya dikemukakan oleh Saifuddin Al-Amidi yang mengatakan bahwa qiyas adalah: عبا رة عن الاستلؤاء بين الفرع والاصل فى العلة ا لمستنبطة من حكم الاصل Artinya: “Mempersamakan illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal yang diistimbatkan dari hukum asal.” Mayoritas Ulama Syafi’iyah mendefinisikan qiyas dengan: حمل غيرمعلوم عل معلوم فى اثبات الحكم لهمااونفيه عنهمابامرجامع بينهمامن حكم اوصفة Artinya: “Membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang diketahui untuk menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, karena adanya sesuatu yang menyatukan keduanya. Baik hukum maupun sifat.” Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan qiyas sebagai berikut: الحاق امرغيرمنصوص على حكمه الشرعي بامرمنصوص عل حكمه لاشتراكهمافى عله الحكم Artinya: “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash disebutkan kesatuan illat hukum antara keduanya.” Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh Para Ahli fiqh tersebut maka dapat dijelaskan bahwa qiyas menurut istilah adalah: الحاق امرلامراخرفى الحكم لاشيراكهمافى علةالحكم فيتحدان فى الحكم Artinya: “menggabungkan suatu pekerjaan pada pekerjaan lain tentang hukumnya, karena kedua pekerjaan itu memiliki persamaan sebab(illat) yang menyebabkan hukumnya harus sama.” Biarpun terjadi perbedaan definisi terminologi antara ulama klasik dan kontemporer tentang qiyas, namun mereka sepakat bahwa qiyas adalah "Al-Kasyf wa Al-Idzhâr li Al-Hukm" atau menyingkapkan dan menampakkan hukum, bukan menetapkan hukum ataupun menciptakan hukum. Karena pada dasarnya al-maqis atau sesuatu yang dikiaskan, sudah mempunyai hukum yang tetap atau tsabit, hanya saja terlambat penyingkapanya sampai mujtahid menemukannya dengan perantara adanya persamaan "illah.” B. Rukun Qiyas Para Ulama sepakat Ushul fiqh sepakat bahwa rukun qiyas terdiri atas empat yaitu sebagai berikut: 1. Ashl ( الاصل), yaitu perkara pokok yang terdapat atau telah ditetapkan oleh nash atau ijma’. Yang dikatakan Al-Ashl itu adalah nash yang menentukan hukum, karena nash inilah yang dijadikan patokan penentu hukum furu’. Dalam kasus wisky yang diqiyaskan pada khamar, maka menurut mereka yang menjadi Ashl adalah ayat 90-91 Surat Al-Maidah. 2. Far’u ( الفرع ), adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus diatas. 3. Illat ( العلة ), adalah sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus diatas. 4. Al-Ashl ( العلة ), adalah sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum, dalam kasus khamar diatas illatnya adalah memabukkan. Contoh: Ashl/pokok Furu’/cabang illat hukum Khamar Gandum Dll Wisky Padi Memabukkan Mengeyangkan Haram Wajib C. Syarat-syarat Qiyas Untuk menentukan hukum suatu perkara dengan qiyas yang belum tentu ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Syarat-syarat Ashl (Soal-soal Pokok) a. Hukum yang hendak dipilih untuk cabang masih ada hukum pokoknya. b. Hukum yang ada dalam pokok harus hukum Syara’ bukan hukum akal atau bahasa. c. Hukum pokok tidak merupakan hukum pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa meskipun makan dan minum. من نسي وهوصاام فاكل اوشرب فليتم صومه فانمااطعمه الله وسقاه (رواه البجارىومسلم) Artinya: “Barang siapa yang lupa padahal ia sedang berpuasa kemudian ia makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya sesungguhnya Allah yang membarikan makan dan minum.” (H.R Bukhori Muslim). 2. Syarat-syarat Furu’ (Cabang) a. Hukum cabang tidak lebih dulu dari pada hukum pokok. b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut Ulama ushul berkata, apabila datang nash, qiyas menjadi batal. c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan dengan illat yang terdapat pada pokok. d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok. 3. Syarat-syarat Illat a. Illat harus tetap berlaku, manakala ada illat tentu ada hukum, dan tidak ada hukum bila tidak ada illat. b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya illat tanpa mengganggu sesuatu yang lain. c. Illat tidak berlawanan dengan nash, dan apabila berlawanan, maka nash yang harus didahulukan. d. Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu, misalnya berpengaruhnya illat tersebut karena adanya hikmah yang dikehendaki syara’. D. Macam-macam Qiyas a. Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan mempunyai hukum yang lebih utama dari pada tempat menyamakan (mulhaq bih). Misalnya mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan perkataan “ah” kepadanya, yang tersebut dalam firman Allah : …    … “Janganlah kamu mengatakan “ah”kepada kedua orang tua…..” (QS: Al-Isra’: 23) Mengatakan “ah” kepada orang tua dilarang karena illatnya menyakiti hati, apalagi memukul. b. Qiyas Musaway, yaitu suatu qiyas yang illatnya-nya mewajibkan adanya hukum dan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-nya sama dengan illat hukum yang terdapat pada mulhaq-bin. Misalnya, merusak harta benda anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim, yakni sama-sama merusak harta, sedangkan memakan harta anak yatim diharamkan. Sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT: •              . “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10) c. Qiyas Dalalah, yakni suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukan hukum, tapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil pada harta seorang dewasa dalam kewajiban mengeluarkan zakat. d. Qiyas Syibhi, yakni suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada mulhaq bih. Misalnya seorang hamba sahaya yang dirusak oleh seseorang, budak yang dirusak itu dapat diqiyaskan dengan orang merdeka karena karena memang keduanya sama-sama keturunan adam. E. Kehujjahan Qiyas Hujjah secara bahasa artinya petunjuk atau bukti, adapun arti qiyas sebagai hujjah adalah: petunjuk atau bukti untuk mengetahui beberapa hukum syar'i. Sedangkan arti hujjiyatul qiyas sendiri adalah bahwa qiyas merupakan dasar dari dasar-dasar pensyareatan dalam hukum-hukum syar'i ' praktis. Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas dalam hukum-hukum syariat/agama. Dalam hal ini ada beberapa pendapat diantaranya: 1. Jumhur Ulama ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil istinbat hukum-hukum syara’/agama. Alasan mereka adalah: a. Fiman Allah SWT:  Artinya: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” ( QS. Al-Hasyr: 2 ) b. Fiman Allah SWT yang berbunyi:                    . “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS: An Nisaa': 59) c. Peristiwa mu’az ibnu ibnu jabal ketika akan diutus oleh rasul menjadi qadhi di Yaman. 2. Sebagian Ulama syi’ah dan segolongan dari Ulama mu’tazilah seperti An-Nazzam juga Ulama-ulama dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah. Alasan mereka ialah semua peristiwa sudah ada ketentuan dalam Al-Quran dan Sunnah baik yang ditunjukkan nash dengan kata-kata atau tidak seperti isyarat nash (hukum yang tersirat) atau yang menunjukkan nash karena itu kita tidak memerlukan qiyas sebagai hujjah. 3. Al-Quffalusysyasyi dari golongan syaf’iah dan Abul Hasan Al-bhasri dari golongan Mu’tazilah. Keduanya berpendapat bahwa penetapan hukum melalui qiyas wajib kita lakukan baik secara agama maupun secara syariat. Alasan Mazhab ketiga ini, seperti juga alasan Mazhab yang pertama diatas tadi yakni berdasarkan Dalil-dalil dan dialog Mu’az dengan Rasul sewaktu akan dikirim oleh Rasul untuk menjadi qadhi di Yaman. Kesimpulan Qiyas artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persaman illlat. Menurut istlah agama qiyas yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telh disebutkan (belum mengetahui ketetapan) kepada hukum yang telah ada/telah ditetapkan Al-Quran dan Sunah disebabakan sama illat antara keduanya (asal furu’). Secara bahasa, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qasa- yaqisu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, "Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya", artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiaskan extasi dengan minuman keras", artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras. Biarpun terjadi perbedaan definisi terminologi antara ulama klasik dan kontemporer tentang qiyas, namun mereka sepakat bahwa qiyas adalah "Al-Kasyf wa Al-Idzhâr li Al-Hukm" atau menyingkapkan dan menampakkan hukum, bukan menetapkan hukum ataupun menciptakan hukum. Karena pada dasarnya al-maqis atau sesuatu yang dikiaskan, sudah mempunyai hukum yang tetap atau tsabit, hanya saja terlambat penyingkapanya sampai mujtahid menemukannya dengan perantara adanya persamaan "illat.” DAFTAR PUSTAKA Drs. Chairul umam, dkk, Ushul Fiqh, Bandung, Juli 1998. Bakri, nazar, fiqh dan ushul fiqh/nazary, edisi 1, cetakan 4. PT Raja Grafindo persada. Jakarta, 2003. http://www.wattpad.com/147913-qiyas-dalam-islam?p=2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar